Kamis, 31 Oktober 2013

TEORI BELAJAR DISIPLIN MENTAL

 ‘Teori  Disiplin Mental’ dari kalangan pendidik mungkin pernah mendengar tentang teori ini sebelumnya, teori ini merupakan salah satu dari sekian banyak  teori belajar yang muncul sebelum abad 20, sebagian referensi mengatakan teori ini ditemukan oleh Plato dan Ariestoteles tetapi ada juga yang mengatakan teori ini sudah ada sejak zaman kuno. Disiplin mental juga dikenal dengan ungkapan disiplin formal. Gagasan utama dalam toeri disiplin mental adalah pada otak (mind), yang diangankan sebagai benda nonfisik, yang terbaring tidak aktif (dorman) lalu  ia dilatih. (Shermis, S. Samuel, n.y. How to discipline your mind.) Seperti halnya otot-otot fisik yang bisa kuat jika dilatih secara bertahap dan terus menerus serta dengan porsi yang memadai, maka otot-otot pikiran atau otak pun demikian halnya. Ia bisa kuat dalam arti lebih tinggi kemampuannya jika dilatih secara bertahap dan memadai. Disini Kecakapan pikiran atau otak seperti ingatan, kemauan, akal budi (reason), dan ketekunan, dianggap sebagai "otot-ototnya" pikiran atau otak tadi.  Dalam toeri disiplin mental, belajar atau perubahan perilaku ke arah yang berkualitas diartikan sebagai pemerkuatan (strengthening), atau pendisiplinan kecakapan berpikir (otak), yang pada akhirnya menghasilkan perilaku kecerdasan. 
 Teori yang tergolong dalam teori klasik ini memang pada awalnya tidak berdasarkan pada eksperimen, namun hanya berdasar pada pemikiran saja. Teori disiplin mental ternyata sampai saat ini masih diterapkan dalam pembelajaran modern, walaupun merupakan teori pembelajaran yang sudah lama ditemukan.

Penganut belajar disiplin mental contohnya Jean Jacgues Rousseau yang menggangap anak memiliki potensi-potensi yang masih terpendam, melalui belajar, anak harus diberi kesempatan mengembangkan atau mengaktualkan potensi-potensi tersebut. Sesungguhnya anak memiliki kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri (Andi, 2009: 1).
Teori disiplin mental menekankan pada latihan mental yang diberikan dalam bentuk studi. Disiplin mental juga dikenal dengan ungkapan disiplin formal. Gagasan utama disiplin mental adalah pada otak atau pikiran, yang dianggap sebagai benda nonfisik, terbaring tidak aktif  hingga ia dilatih. Kecakapan pikiran atau otak seperti ingatan, kemauan, akal budi, dan ketekunan, merupakan “otot-ototnya” pikiran atau otak tadi. Otak dipersepsikan seperti otot-otot fisiologis yang bisa kuat jika dilatih secara bertahap dan terus menerus serta dengan porsi yang memadai, maka otot-otot pikiran atau otak pun demikian halnya. Otak manusia  bisa kuat dalam arti lebih tinggi kemampuannya jika dilatih secara bertahap dan memadai (Asri Trianti, 2008: 1).
Apabila belajar ditinjau dari teori disiplin mental maka belajar lebih ditekankan pada masalah penguatan, atau pendisiplinan kecakapan berpikir otak, yang pada akhirnya menghasilkan perilaku kecerdasan. Contohnya, dalam konteks komunikasi, kecakapan berkomunikasi seseorang pun bisa dilatih sejak dini supaya berhasil dengan baik. Tampaknya memang benar bahwa ahli-ahli komunikasi praktis seperti ahli pidato, ahli kampanye, ahli seminar, dsb. Semuanya merupakan hasil dari proses latihan. Latihan dalam hal keahlian ini identik dengan pengalaman. Semakin lama pengalaman seseorang di bidangnya maka semakin ahli orang yang bersangkutan.
Menurut teori disiplin mental, orang dianggap sebagai paduan dari dua jenis zat dasar, atau dua jenis realitas, yaitu pikiran rasional dan organisme biologis. Dengan begitu maka konsep animal rasional digunakan untuk mengenali manusia, sedangkan yang didisiplinkan atau dilatih melalui pendidikan adalah pikiran (Asri Trianti, 2008: 2).
Menurut konsep ini pada dasarnya manusia terbentuk dari dua zat yakni mental dan fisik secara berpadu. Bagaimana pun juga, pikiran dan badan atau zat rohaniah dan zat badaniah tidak mempunyai karakteristik umum (yang sama). Pemikiran akan konsep pikiran atau rohani sampai sekarang masih berlangsung, baik yang datangnya dari orang-orang primitif (yang mengatakan bahwa nyawa berpindah ketika sedang bermimpi), maupun konsep orang-orang sekarang yang lebih kompleks. Dalam hal ini orang melihat belajar sebagai proses perkembangan akibat dari adanya pelatihan pikiran atau otak. Dengan demikian maka belajar menjadi suatu proses yang terjadi di dalam di mana berbagai kekuatan seperti imajinasi, memori, kemauan, dan pikiran, diolah. Dan dari sana pendidikan pada umumnya dan belajar pada khususnya menjadi suatu proses disiplin mental

Dua Aliran Teori Disiplin Mental
Teori disiplin mental setidaknya mempunyai dua versi pokok, yakni humanisme klasik dan psikologi kecakapan (faculty psychology). Masing-masing merupakan hasil dari perkembangan tradisi budaya yang berbeda. Humanisme klasik berasal dari Yunani kuno. Humanisme Klasik mempunyai dasar asumsi asumsi bahwa otak manusia merupakan satu pusat atau sentral yang aktif dalam berhubungan dengan lingkungannya, dan secara moral ia netral saat lahir. Humanisme adalah suatu pandangan dan jalan hidup yang berpusat pada kepentingan dan nilai-nilai manusia. Humanisme klasik itu hanya satu dari bentuk-bentuknya yang ada (Asri Trianti, 2008: 5).
Bentuk yang berlainan dari humanisme klasik adalah humanisme psikedelik (psychedelic humanism) dan humanisme saintifik (scientific humanism). Humanisme psikedelik menekankan kepada sifat-sifat keotonomian dan sifat-sifat aktif manusia dengan ciri “manusia melakukan dirinya sendiri”. Jenis humanisme ini meliputi psikologi belajar aktualisasi diri, yang memandang manusia sebagai individu yang baik dan aktif di dalam dirinya. Penekanan dalam belajarnya adalah pada pelatihan kekuatan mental secara internal. Jika seseorang ingin memiliki kecakapan atau keahlian di bidang tertentu, maka ia harus secara internal dan intensif, melatih dirinya di bidang tersebut, hingga mampu menguasainya. Jika Anda ingin menguasai bagaimana menyetir mobil, tentu harus berlatih sendiri secara intensif oleh Anda sendiri sampai bisa.
Humanisme Saintifik lebih menekankan kepada peningkatan kemampuan dengan jalan menerapkan proses pemecahan masalah secara ilmiah. Jenis humanisme ini sesuai juga dengan psikologi bidang Gestalt. Dengan berlatih menyelesaikan atau memecahkan masalah-masalah sosial, ujian, atau bidang permasalahan apapun, maka seseorang akan sampai kepada penguasaan atas permasalahannya tadi. Permasalahan yang lain pun pada akhirnya akan dapat dengan mudah diselesaikan.
Otak atau pikiran manusia dianggap sedemikian rupa sehingga dengan pengolahan yang memadai, otak dapat mengetahui dunia seperti pada kenyataannya. Manusia mempunyai kebebasan memilih dalam keterbatasan bertindak dilihat dari segi apa yang dipahaminya. Sebagai makhluk yang tidak hanya memiliki instink saja, orang lebih suka berusaha memahami sesuatu yang kompleks dan sulit-sulit, karena mempunyai dasar akal budi. Orang mampu berpikir rasa dan berpikir rasional. orang bertindak karena mereka paham akan apa yang dilakukannya. Dengan kata lain mereka menyadari akan perbuatannya, atau setidaknya mereka tahu dan berkeinginan untuk melakukan apa yang dikehendakinya.
Di dalam kerangka rujukan humanisme klasik, pengetahuan dianggap sebagai ciri bangun prinsip kebenaran yang pasti atau tetap, yang diteruskan sebagai warisan budaya atau sukunya. Prinsip prinsip ini telah ditemukan oleh para pemikir besar sepanjang sejarah manusia yang kemudian disusun ke dalam buku-buku besar. Menurut teori ini, kurikulum sekolah itu berdasar pada falsafah dan buku-buku klasik. Dan dalam hal ini, mempelajari buku-buku besar menjadi sesuatu yang penting. Contohnya misalnya di lembaga-lembaga pendidikan tradisional kita yang lebih menekankan kepada mempelajari buku-buku besar karangan para ahli di jaman lampau. Di lembaga-lembaga pesantren di Indonesia, sampai sekarang banyak yang mendasarkan diri pada buku atau kitab-kitab “kuning” sebagai bahan kajiannya.
Christian Wolff (1679-1754), seorang ahli filsafat Jerman, berpendapat bahwa pikiran atau otak manusia mempunyai kecakapan yang jelas dan berbeda-beda. Pada saat tertentu pikiran berada pada satu kegiatan khusus, dan pada saat lain terkadang sebagai bagian dari satu aspek dari kegiatan tertentu lain. Menurut Wolff, kecakapan dasar yang umum adalah: pengetahuan, perasaan, ingatan, dan akal budi inti. Sedangkan kecakapan akal budi meliputi kemampuan menggambarkan perbedaan-perbedaan dan menafsirkan atau menilai bentuk. Kecakapan kemauan dipercaya sebagai hasil perkembangan ide atau gagasan pikiran bahwa sifat manusia bisa dijelaskan melalui melihat dari segi prinsip ketidakbaikan (Asri Trianti, 2008: 7).
Sebenarnya disiplin mental telah ada sejak jaman kuno, dan pengaruhnya masih tampak dalam kegiatan komunikasi praktis, seperti di lingkungan pendidikan atau sekolahan, di lembaga lembaga non pendidikan, dan bahkan di organisasi-organisasi kemasyarakatan, sampai sekarang. Manusia mempunyai kelebihan dengan adanya kemampuan berpikir dan berakal budi, hal ini yang menyebabkan perkembangan yang berbeda. Sejak dahulu, semua binatang hanya mengandalkan instinknya saja dalam bergerak. Mereka tidak pernah ingin merubah kondisi kehidupannya untuk ditingkatkan sesuai dengan tuntutan jaman. Sedangkan pada manusia, karena mempunyai nafsu dan kemauan yang dibarengi dengan kemampuan akalnya, maka dunia dikuasainya untuk dibentuk sesuai dengan seleranya.
Semua perubahan-perubahan itu terjadi karena manusia selalu mengalami belajar, mengalamami perubahan perilaku ke arah yang lebih berkualitas, dalam rangka meningkatkan kemampuannya,  terutama kemampuan akal dan budinya. Kita bisa mengembangkan konsep ini secara aplikatif.  Disiplin mental yang sebenarnya disebut juga dengan disiplin formal yang selalu tampak dalam hampir semua aspek pembelajaran manusia. Artinya, ketika manusia melakukan belajar, ia selalu mengalami pelatihan secara displin, baik internal maupun eksternal. Contoh dalam tataran praktis keseharian. Olahragawan terkemuka biasanya hasil latihan yang disiplin. Ilmuwan terkemuka juga merupakan hasil kerja keras belajar secara disiplin. Tidak ada orang yang tiba-tiba menjadi ahli dalam bidang tertentu.

C. Penerapan Teori Belajar Mental dalam Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
Teori belajar disiplin mental menjadi dasar untuk disusunnya strategi dan model pembelajaran untuk diterapkan bagi siswa. Model pembelajaran yang dimaksud adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang menggunakan pembelajara di kelas atau pembelajaran dalam tutorial serta untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran (Triyanto, 2007: 1).
Dalam kalangan anak-anak, baik di lingkungan keluarga ataupun di sekolah, hampir semua aspek pembelajaran bisa dilakukan dengan cara disiplin, seperti pembiasaan secara tetap akan suatu pekerjaan, latihan tetap terhadap suatu keterampilan, disiplin diri dalam bertindak, displin mengendalikan diri, bekerja keras dengan disiplin tetap, serta adanya arahan-arahan motivasi dari pihak lain. Semua itu jika dilakukan akan menghasilkan manusia yang memiliki kemampuan unggul di bidang yang dikerjakannya atau dilatihnya secara disiplin tadi. Memang, pada asalnya disiplin dilakukan oleh adanya aturan-aturan eksternal, namun secara tidak langsung, jika hal itu dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang lama, akan menghasilkan perilaku disiplin internal.
Suatu pekerjaan jika dikerjakan secara terus  menerus dengan frekuensi yang relatif tetap, akan menjadikannya seseorang menjadi terbiasa dengan pekerjaannya itu.  Disiplin juga tidak hanya untuk hal-hal yang bersifat praktis, namun juga dapat bersifat mental. Sebagai contohnya, dengan telah melakukan ‘hafalan’ secara disiplin terhadap perkalian angka 1 x 1, sampai dengan perkalian 10 x 10, maka kita sekarang tidak perlu berpikir lagi jika ditanya, 6 x 7, 8 x 9, atau 7 x 7. Kita bisa langsung menjawab hasilnya dengan benar. Itu semua akibat dari hasil belajar melalui pola disiplin mental ketika kita di SD dulu. Disiplin mental dikenal juga dengan disiplin formal.
Teori disiplin mental relevan apabila diterapkan dalam sistem pembelajaran, karena kriteria belajar bagi siswa adalah adanya perubahan perilaku pada diri individu, perubahan perilaku yang terjadi hasil dari pengalaman, dan perubahan tersebut relatif menetap (Suciati, 2005: 13). Berdasarkan kriteria tersebut tentu saja teori belajar disiplin mental dapat diterapkan sebagai media untuk menambah pengetahuan untuk perubahan perilaku individu secara menetap dan berdasarkan hasil pengalaman dalam proses belajar mengajar.
Dalam ranah pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial, teori disiplin mental menjadi dasar dalam pembelajaran, yaitu dengan menggunakan strategi guru memberikan buku-buku yang relevan kepada siswa untuk dipelajari secara terus-menerus. Pembelajaran dengan teori ini, mengakselerasi siswa untuk selalu meningkatkan kemampuannya dan ketrampilannya dengan senantiasa belajar setiap hari, mempelajari materi-materi setiap hari, sehingga semua kompetensi yang distandarkan dapat dikuasai.
Standar kompetesi bahan kajian Pengetahuan Sosial dan Ilmu-Ilmu Sosial dan Kewarganegaraan (Arnie Fajar, 2009: 105), adalah:
1.  Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang sistem sosial dan budaya dan menerapkannya untuk:
a.  Mengembangkan sikap kritis dalam situasi sosial yang timbul sebagai akibat perbedaan yang ada di masyarakat;
b.  Menentukan sikap terhadap proses perkembangan dan perubahan sosial budaya;
c.   Menghargai keanekaragaman sosial budaya dalam masyarakat multikultural.
2.  Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang manusia, tempat dan lingkungan serta menerapkannya untuk:
a.  Meganalisis proses kejadian, interaksi dan saling ketergantungan antara gejala alam dan kehidupan di muka bumi dalam dimensi ruang dan waktu;
b.  Terampil dalam memperoleh, mengolah dan menyajikan informasi geografis.
3.  Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang perilaku ekonom da kesejahteraan serta menerapkanya untuk:
a.  Berperilaku yang rasional dan manusiawi dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi;
b.  Menumbuhkan jiwa, sikap dan perilaku kewirausahaa;
c.   Menganalisis sistem informasi keuangan lembaga-lembaga ekonomi;
d.  Terampil dalam praktik usaha ekonomi sendiri.
4.  Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang waktu, keberlanjuta dan perubahan serta menerapkannya untuk:
a.  Meganalisis keterkaitan antara manusia, waktu, tempat, dan kejadian;
b.  Merekonstruksi masa lalu, memaknai masa kini, dan memprediksi masa depan;
c.   Menghargai berbagai perbedaan serta keragaman sosial, kultural, agama, etnis dan politik dalam masyarakat dari pengalaman belajar peristiwa sejarah.
5.  Kemampuan memahami dan meninternalisasi sistem berbansa dan bernegara serta menerapkannya untuk:
a.  Mewujudkan persatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945;
b.  Membiasakan untuk mematuhi norma, menegakkan hukum, dan menjalankan peraturan;
c.   Berpartisipasi dalam mewujudkan masyarakat dan pemerintahan yang demokratis; menjunjung tinggi, melaksanakan dan menghargai HAM.
Berdasarkan karakteristik pembelajaran ilmu-ilmu sosial dan kewarganegaraan tersebut tentu saja teori disiplin mental sangat dominan dipergunakan dalam pembelajaran terutama permasalahan pengetahuan tentang masalah konsep-konsep. Pengertian, definisi, kriteria dan materi-materi pembelajaran yang perlu dikuasai tentu saja diperlukan penerapan teori disiplin mental dalam proses pembelajarannya.
Penerapan secara nyata dalam proses belajar mengajar yang berhubungan dengan disiplin mental dalam setiap mata pelajaran (misalnya pembelajaran tingkat SMP) sebagai berikut:
1.  Pembelajaran Ekonomi
Guru memberikan materi pembelajaran tentang sistem perilaku ekonomi dan kesejahteraan dengan memberikan pengertian tentang sistem berekonomi, ketergantungan, sesialisasi dan pemberian kerja, perkoperasian, kewirausahaan, dan pengelolaan keuangan perusahaan. Materi-materi tersebut dapat disampaikan siswa dengan menerangkan atau mengunakan buku dan diakhir pembelajaran siswa mengerjakan LKS sebagai tes hasil evaluasi.
2.  Pembelajaran Sejarah
Guru dapat menggunakan gambar dan media lain dengan memberikan materi tentang dasar-dasar ilmu sejarah, fakta, peristiwa dan proses sejarah. Siswa diakhir pembelajaran diminta untuk menerangkan kembali tentang pembelajan tersebut agar lebih memperdalam materi pembelajaran bagi siswa lainnya.
3.  Pembelajaran Geografi
Guru dapat menggunakan peta dan diskusi tentang materi sistem informasi geografi, interaksi gejala fisik dan sosial, struktur internal suatu temat, interaksi keruangan dan persepsi lingkungan dan kewilayahan. Guru dapat memberikan tugas dengan mempelajari materi lain untuk memerdalam materi.
4.  Pembelajaran PKn
Guru dapat mengunakan strategi belajar kelompok, untuk membahas tentang persatuan bangsa, nilai dan norma, hak asasi mausia, kebutuhan hidup, kekuasaan dan politik, masyarakat demokratis, Pancasila da konstitusi negara serta globalisasi. Guru kemudian dapat bertanya kepada siswa satu persatu untuk menjawab pertanyaa dari guru untuk mengukur kedalaman pemahama materi.
Teori disiplin mental juga dapat dilaksanakan dengan menggunakan pembelajaran dengan strategi eksositori. Model pengajaran ekspositori merupakan kegiatan yang terpusat pada guru. Guru aktif membeerikan penjelasan atau informasi tererinci tentang bahan pengajaran. Tujuan utama pengajaran ekspositori adalah memindahkan pengetahuan, ketrampila dan ilai-nilai kepada siswa. Hal yang esensial pada bahan pengajaran harus dijelaskan kepada siswa (Dimyati dan Mudjiono, 2006: 172).
Guru juga dapat menggunakan strategi evaluasi dengan sistem menanyakan terus menerus pembelajaran yang dikuasai siswa secara lisan, sehingga guru dapat mengukur seberapa jauh siswa menguasai pembelajaran yang diberikan. Aplikasi pembelajaran dengan teori disiplin mental memang mengedepankan aspek penguasaan materi dan ketrampilan berdasarkan pada pengasahan otak dan penambahan materi  pembelajaran kepada siswa.
Teori disiplin mental dalam pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial sesungguhnya banyak sekali sistem penerapannya. Fokus dari disiplin mental adalah memberikan peningkatan pengetahuan setiap waktu agar semakin lama siswa semakin memahami tentang materi pembelajaran. Peningkatan pengetahuan yang dilaksanakan secara bertahap penting dilaksaakan dalam teori disiplin mental. Tambahan pemahaman dan materi tersebut merupakan indikasi keberhasilan dari teori disiplin mental.
Teori disiplin mental apabila diimplementasikan dampak positifnya menjadikan siswa semakin hari-semakin meningkat kemampuannya dalam menguasai materi dan ketrampilan. Siswa menjadi disiplin untuk mempelajari materi pembelajaran setahap-demi setahap, dan semakin lama akan semakin banyak. Dampak negatif dari penerapan disiplin mental apabila dilaksanakan secara dominan dan tidak memperhatikan faktor-faktor psikologi akan menjadi siswa menjadi tegang, dan proses belajar mengajar tidak bervariatif. Segi kognitif siswa yang kadang-kadang tidak cocok dengan metode pembelajaran berbasis disiplin mental menjadi terbebani dengan pembelajaran tersebut.
kESIMPULAN :
Teori disiplin mental apabila diimplementasikan dampak positifnya menjadikan siswa semakin hari semakin meningkat kemampuannya dalam menguasai materi dan ketrampilan. Siswa menjadi disiplin untuk mempelajari materi pembelajaran setahap-demi setahap, dan semakin lama akan semakin banyak. Dampak negatif dari penerapan disiplin mental apabila dilaksanakan secara dominan dan tidak memperhatikan faktor-faktor psikologi akan menjadi siswa menjadi tegang, dan proses belajar mengajar tidak bervariatif. Segi kognitif siswa yang kadang-kadang tidak cocok dengan metode pembelajaran berbasis disiplin mental menjadi terbebani dengan pembelajaran tersebut.
Teori belajar disiplin mental berkembang sebelum abad ke-20. Teori ini tanpa dilandasi eksperimen, dan hanya berdasar pada filosofis atau spekulatif. Walaupun berkembang sebelum abad ke-20, namun teori disiplin mental sampai sekarang masih ada pengaruhnya, terutama dalam pelaksanaan pengajaran di sekolah-sekolah. Teori ini menganggap bahwa secara psikologi individu memiliki kekuatan, kemampuan atau potensi potensi tertentu. Belajar adalah pengembangan dari kekuatan,kemampuan dan potensi-potensi tersebut.
Teori belajar disiplin mental, merupakan salah satu pandangan yang mula-mula memberikan definisi tentang belajar yang disusun oleh filsuf Yunani bernama Plato. Pandangan filsafatnya yaitu tentang idealisme yang melukiskan pikiran dan jiwa yang bersifat dasar bagi segala sesuatu yang ada. Idealisme hanyalah ide murni yang ada di dalam fikiran, karena pengetahuan orang berasal dari idea yang ada sejak kelahirannya. Belajar dilukiskan sebagai pengembangan olah fikiran yang bersifat keturunan. Kepercayaa ini kemudian dikenal sebagai konsep “disiplin mental” (Bell Gredler, 1994: 21).
Penganut belajar disiplin mental contohnya Jean Jacgues Rousseau yang menggangap anak memiliki potensi-potensi yang masih terpendam, melalui belajar, anak harus diberi kesempatan mengembangkan atau mengaktualkan potensi potensi tersebut. Sesungguhnya anak memiliki kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri Teori disiplin mental menekankan pada latihan mental yang diberikan dalam bentuk studi. Disiplin mental juga dikenal dengan ungkapan disiplin formal. Gagasan utama disiplin mental adalah pada otak atau pikiran, yang dianggap sebagai benda nonfisik, terbaring tidak aktif  hingga ia dilatih. Kecakapan pikiran atau otak seperti ingatan, kemauan, akal budi, dan ketekunan, merupakan “otot-ototnya” pikiran atau otak tadi. Otak dipersepsikan seperti otot-otot fisiologis yang bisa kuat jika dilatih secara bertahap dan terus menerus serta dengan porsi yang memadai, maka otot-otot pikiran atau otak pun demikian halnya. Otak manusia  bisa kuat dalam arti lebih tinggi kemampuannya jika dilatih secara bertahap dan memadai.
Apabila belajar ditinjau dari teori disiplin mental maka belajar lebih ditekankan pada masalah penguatan, atau pendisiplinan kecakapan berpikir otak, yang pada akhirnya menghasilkan perilaku kecerdasan. Contohnya, dalam konteks komunikasi, kecakapan berkomunikasi seseorang pun bisa dilatih sejak dini supaya berhasil dengan baik. Tampaknya memang benar bahwa ahli-ahli komunikasi praktis seperti ahli pidato, ahli kampanye, ahli seminar, dsb. Semuanya merupakan hasil dari proses latihan. Latihan dalam hal keahlian ini identik dengan pengalaman. Semakin lama pengalaman seseorang di bidangnya maka semakin ahli orang yang bersangkutan.
Menurut teori disiplin mental, orang dianggap sebagai paduan dari dua jenis zat dasar, atau dua jenis realitas, yaitu pikiran rasional dan organisme biologis. Dengan begitu maka konsep animal rasional digunakan untuk mengenali manusia, sedangkan yang didisiplinkan atau dilatih melalui pendidikan adalah pikiran (Asri Trianti, 2008: 2).
Menurut konsep ini pada dasarnya manusia terbentuk dari dua zat yakni mental dan fisik secara berpadu. Bagaimana pun juga, pikiran dan badan atau zat rohaniah dan zat badaniah tidak mempunyai karakteristik umum (yang sama). Pemikiran akan konsep pikiran atau rohani sampai sekarang masih berlangsung, baik yang datangnya dari orang-orang primitif (yang mengatakan bahwa nyawa berpindah ketika sedang bermimpi), maupun konsep orang-orang sekarang yang lebih kompleks. Dalam hal ini orang melihat belajar sebagai proses perkembangan akibat dari adanya pelatihan pikiran atau otak. Dengan demikian maka belajar menjadi suatu proses yang terjadi di dalam di mana berbagai kekuatan seperti imajinasi, memori, kemauan, dan pikiran, diolah. Dan dari sana pendidikan pada umumnya dan belajar pada khususnya menjadi suatu proses disiplin mental.
 
Daftar Pustaka :

Andi. (2009). Teori Belajar. Diambil pada tanggal 12 Oktober 2009, dari http://www.http://andi1988.wordpress.com/2009/01/28/teori-teori-belajar-2.
Arnie Fajar. (2009). Portofolio dalam pembelajaran IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Asri Buduningsih. (2006). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Asri Trianti. (2008). Teori disiplin mental. Diambil pada tanggal 12 Oktober 2009, dari: http://www.candilaras.co.cc/2008/05/teori-disiplin-mental.html
Bell Gredler, Margaret E. (1994). Belajar dan membelajarkan. (Terjemahan Munandir). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Dimyati dan Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Made Pidarta. (2000). Landasan pendidikan stimulus ilmu pendidikan bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Slameto. (2003). Belajar dan fakto-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Suciati. (2005). Belajar dan Pembelajaran I. Jakarta: Universitas Terbuka.

Trianto. (2007). Model-model pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.











Kamis, 17 Oktober 2013

(Resume) 4 PILAR DALAM BELAJAR

A. LEARNING TO KNOW/BELAJAR MENGETAHUI
    

Tahapan awal untuk menciptakan pendidikan yang baik dan berkualitas adalah dengan mengetahui, memahami dan menerapkan pilar-pilar dalam pendidikan, dan learning to know atau belajar untuk mengetahui adalah pilar utama dalam sebuah pendidikan yang mempunyai nilai-nilai dan keyakinan yang menjadikannya sebuah kunci dalam suatu pendidikan.Proses-proses utama yang menjadi kunci dalam hal tersebut, meliputi:

1.      Meninjau dan mengklarifikasi nilai-nilai dan keyakinan
2.      Menyatakan misi dan tujuan pendidikan
3.      Mengembangkan pemahaman tentang bagaimana siswa belajar
4.      Responsif terhadap konteks dalam menentukan apa yang harus dipelajari oleh siswa dalam jangka waktu mereka mengenyam pendidikan di sekolah formal ataupun non formal

Selama mengenyam pendidikan di manapun dan kapanpun proses itu terjadi, secara tidak langsung telah mengajarkan  kita untuk memahami tentang sifat manusia, alam, dan berbagai kecerdasan manusia lainnya.

Sehingga penyusun dapat menyimpulkan bahwa belajar untuk mengetahui (learning to know) pada dasarnya adalah suatu pembelajaran tidaklah hanya dilihat dari hasil akhir sebuah pembelajaran tersebut, melainkan juga berorientasi dalam proses pembelajaran, belajar untuk mengetahui (learning to know) dalam pembahasan ini dapat diartikan juga sebagai suatu kegiatan untuk memperoleh, memperdalam dan memanfaatkan pengetahuan,  learning to know juga diartikan sebagai life long education yang berarti pendidikan sepanjang hayat, manusia memiliki rasa ingin tahu, dan akan terus belajar sepanjang hayatnya, sehingga menimbulkan kemauan untuk terus berfikir. Artinya siswa memiliki pemahaman dan penalaran yang bermakna terhadap produk dan proses pendidikan (apa, bagaimana, dan mengapa) yang memadai. Dalam pembelajaran misalnya, siswa diharapkan memahami secara bermakna fakta, konsep, prinsip, hukum, teori, model, idea , dan hubungan antar idea tersebut; dan alasan yang mendasarinya, serta menggunakan idea itu untuk menjelaskan dan memprediksi proses-proses berikutnya.


Sebagai calon pendidik, mahasiswa dituntut untuk dapat mengetahui, memahami, dan mengaplikasikan Learning to know.Learning to know adalah belajar mengetahui apa yang perlu diketahui siswa untuk mempersiapkan ia menghadapai era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga meliputi bagaimana mendesain pendidikan berdasarkan learning to know. Learning to know tidak hanya sebatas tahu saja apa yang ingin kita ketahui atau tahu apa yang tidak kita ketahui dari orang lain melainkan mengetahui ilmunya, memiliki karakteristik belajar mandiri yang nantinya bisa dan tahu caranya menerapkan ilmunya dalam kehidupan bermasyarakat. Dan kita (mahasiswa) nantinya dituntut untuk dapat mewujudkan hal tersebut.
 
B. LEARNING TO DO/BELAJAR BERKARYA
   Proses pembelajaran dalam konsep learning to do  adalah peserta didik harus mau dan mampu (berani) mengaktualisasi keterampilan yang dimilikinya, selain bakat dan minat yang telah dimiliki sejak awal.
Sekolah adalah salah satu fasilitas untuk mengaktualisasikan keterampilan yang dimiliki peserta didik, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” (belajar untuk melakukan sesuatu) dapat terrealisasi.
Hal-hal yang terkait dengan learning to do :
-Health and Harmony with Nature
  (Kesehatan dan Keharmonisan dengan Alam)
-Truth and Wisdom
  (Kebenaran dan Kebijaksanaan)
-Love and Compassion
  (Cinta dan Kasih Sayang)
-Creativity
  (Kreativitas)
-Peace and Justice
 (Perdamaian dan Keadilan)
-Sustainable Development
 (Pembangunan Berkelanjutan)
-National Unity and Global Solidarity
  (Persatuan dan Solidaritas Nasional)

-Global Spiritual
  (Spiritual Global)
C. LEARNING TO BE/BELAJAR BERKEMBANG UTUH

APNIEVE mendefinisikan belajar didasarkan pada filsafat pendidikan humanistik yang bertujuan untuk mengembangkanmanusia sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Yang melibatkanaspekkekuatan, kemampuan dan bawaan potensi dalam dirimanusia serta dapat menghormati martabat dan nilai masing-masing individu.
MenurutEdgar Faure dalamlaporannya“ manusiaituhakikatnyatidaklengkap, terbagi-bagi, danbelumselesai “. Artinyabahwapendidikanharusdiarahkanuntukpengembanganmanusiaseutuhnyamulaidariaspekfisik, intelektual, emosional, danetika“ .
Konsep ini dikembangkanolehseorangfilsufbernamaPaulo Freire, seorang pendidik Brasil yang luar biasa, Penerimapenghargaan UNESCO International Award On Education, Comenius medal, bahwa"humanisasi adalahdasarpembebasanmanusiauntukmenentukantakdirataupilihan", dan halini dapat dicapaimelaluiproses menyadaripertentanganyang ada dalam diri dan dalam masyarakat dan secara bertahap mampu membawa perubahanpribadinyamaupundalammasyarakat. Hal ini dimulai dariindividu yang sadarakanpotensidirinyadanbertujuanuntukmenjadimanusiaseutuhnya.
DalamLaporan Faure meringkas tujuan universal Pendidikan sebagai berikut:
1. Pendidikanbertujuanuntukmemberikanpenguasaanpegetahuan/wawasandanteknologi. Sebabwawasan yang luas, penguasaanteknologi, danketerampilanbahasasangatdibutuhkansaatini . .
2.      Pendidikanbertujuanuntukmembentukkreatifitas, berartimelestarikanorisinalitasmasing-masingindividu..
3. Pendidikanbertujuanuntukmempersiapkanindividuuntukhidup di masyarakat. Dan bergeraksebagaiindividu yang mempunyai moral danintelektualsertamampumengubahkehidupanmasyarakatkearah yang lebihbaik
4.       Pendidikanbertujuanuntukmenjadikanmanusiamenujumanusiaseutuhnya yang mengutamakankepribadiansebagaitujuanuntukmengembangkandirinyasendiriserta orang lain. Dan jugamampumenyeimbangkanantaraintelektual, etika, danemosional.
Filosofi diatasadalah prinsip belajar untuk menjadi manusia sepenuhnya.
Jacques Delors dalam laporan UNESCO tahun 1996,Learning: The Treasure Within, merujuk kepada Pendidikan sebagai "diperlukan utopia," menyatakan bahwa itu adalah aset yang sangat diperlukan dalammenghadapi banyak tantangan masa depan dan dalam mencapai cita-cita damai, kebebasan dan keadilan sosial. Dia pergi jauh untuk mengatakan bahwa untuk mengatasi ketegangan utama masa depan: antara global dan lokal, universal dan individu, tradisi dan modernitas, spiritual dan material, antara lain, seumur hidup belajar, belajar bagaimana untuk belajar didasarkan pada empat pilar pendidikan: belajar untuk tahu, belajar untuk melakukan, belajar hidup bersama, dan belajar untuk menjadi, telah menjadi suatu keharusan. "Prinsip mendasar adalah bahwa pendidikan harus berkontribusi pada pengembangan semua pikiran masing-masing individu, dan tubuh, kecerdasan, kepekaan, rasa estetika, tanggung jawab pribadi dan nilai-nilai spiritual."
Mereka percaya dalam pendekatan holistik dan terpadu untuk mendidik manusiasebagai individu dan sebagai anggota masyarakat yang berfokus pada pengembangan dimensi dan kapasitas manusia seperti fisik, intelektual, estetika,
Etika, ekonomi, sosial budaya, politik, dan rohani, termasuk hubungan dengan orang lain di Keluarga, masyarakat, negara, wilayah, dan dunia.
APNIEVE percaya bahwa pembangunan seseorang individu dan sosial berlabuh di delapan nilai-nilai inti: Kesehatan dan harmoni dengan alam, kebenaran dan kebijaksanaan, Cinta dan kasih sayang, kreativitas dan penghargaan untuk keindahan, perdamaian dan keadilan, Pembangunan manusia, persatuan dan solidaritas Global, dan Global Spiritualitas, dan nilai-nilai terkait (gambar 4). Nilai-nilai ini berkumpul di sekitar Pusat nilai martabat manusia.
Dengan demikian, prinsip dasar pendidikan harus berkontribusi pada pengembangan total dari dalammanusiasepertitubuh dan jiwa, pikiran dan Roh, kecerdasan dan emosi, kreativitas dan kepekaan, otonomi pribadi dan tanggung jawab, kesadaran sosial dan komitmen, manusia, etika, budaya dan nilai-nilai spiritual.
Definisi dan penjelasan tentang nilai-nilai fundamental dan dominan mengandungdasar pedoman untuk pendekatan holistik dalambelajar, memanfaatkan proses penilaian, yang membawa ke pertimbangan kekuatan kognitif, afektif dan perilaku pelajar.
Siklus belajar-mengajar dan proses penilaian dimulai dengan mengetahui dan memahamidiri sendiri kemudianorang lain, yang menyebabkan pembentukan konsep diri yangbaik, rasaidentitas, harga diri, dan kepercayaan diri, serta rasa hormat yang diwujudkansecarakongkritdilapangan. Hasil untuk menilai, mencerminkan, memilih, menerima, menghargai, danmemperoleh keterampilan yang diperlukan, seperti komunikasi, pengambilan keputusan, dan akhirnya harusdiaplikasikandalamtindakan. Semuainimerupakanupayauntukmengintegrasikan pengetahuan peserta, nilai-nilai dan sikap, kemampuan dan keterampilan untukmengetahuisejauhapaperkembanganmereka.

Learning to be (belajar untuk menjadi)
Learning to be mengandung arti bahwa belajar adalah proses untuk membentuk manusia yang memiliki jati dirinya sendiri. Oleh karena itu, pendidik harus berusaha memfasilitasi peserta didik agar bealajar mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu yang berkepribadian utuh dan bertanggung jawab sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat. Dalam pengertian ini terkandung makna bahwa kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yakni makhluk hidup yang memiliki tanggung jawab sebagai khalifah serta menyadari akan segala kekurangan dan kelemahannya. Learning to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak mandiri, membuat pertimbangan  dan rasa tanggung jawab pribadi yang semakin besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik, dan keterampilan berkomunikasi.
      Tiga pilar pertama ditujukan bagi lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/ menemukan ilmu pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta didik.
      Konsep learning to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk melatih siswa agar memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Penguasaan pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be) (Atika, 2010). Menjadi diri sendiri diartikan sebagai proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapain aktualisasi diri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi proses pendidikan menurut Djamal (2007:101) yaitu:
1)      Motivasi
Yaitu kondisi fisiologi dan psikologis yang terdapat dalam diri seseorang yang mendorong untuk melakukan aktivitas tertentu guna mencapai suatu tujuan/ kebutuhan
2)      Sikap
Sikap yaitu suatu kesiapan mental atau emosional dalam berbagai jenis tindakan pada situasi yang tepat.
3)      Minat
4)      Kebiasaan belajar
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa hasil belajar mempunyai kolerasi positif dengan kebiasaan atau study habit. Kebiasan merupakan cara bertindak yang diperoleh melalui belajar secara berulang-ulang, yang pada akhirnya menjadi menetap dan bersifat otomatis.
5)      Konsep diri
Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang menyangkut perasaannya, serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh terhadap orang lain.
Makna pilar ke empat ini adalah muara akhir dari tiga pilar pendidikan diatas. Dengan pilar ini , peserta didik berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian mantap dan mandiri(Aezacan, 2011).


 D. LEARNING TO LIVE TOGETHER/BELAJARHIDUP   BERSAMA

1.      Arti dari “Learning To Live Together
Learning to live together dalam bahasa Indonesia artinya belajar untuk bisa hidup bersama , maksudnya yaitu dengan terus belajar kita akan terus mendapatkan wawasan yang baru mengenai sesuatu hal kita tidak ketahui sebelummnya.
2.      Cara Mencapai Kehidupan Bersama
Dalam mencapai kehidupan bersama diperlukan usaha-usaha, cara-cara dan kunci-kunci yang lebih menonjolkan sifat kebersamaan atau rasa kepedulian social yang tinggi. Karena dalam mencapai kehidupan bersama rasa kebersamaan tersebut harus diawali dari individu terlebih dahulu sebelum akhirnya kepada ruang lingkup yang lebih luas. Setiap individu harus memulai usaha sosialisasi dan rasa kebersamaan di dalam kehidupan, sehiingga kehidupan bersama dapat didapatkan dengan mudah. Usaha tersebut yaitu dengan menumbuhkan rasa kebersamaan dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Dan untuk memasuki abad baru atau dunia “kita” bersama-sama maka memerlukan kunci di bawah ini, yaitu :
a.       Memahami diri sendiri, satu sama lain dan dunia
b.      Menggunakan teknologi baru secara kritis
c.       Mencari tempat kita di masyarakat
d.      Membangun dunia lebih layak dan lebih adil
Dan dalam mencapai keberhasilan yang diinginkan, yaitu dapat hidup bersama tanpa adanya rasa keberatan atau ketidaknyamanan pada diri sendiri pastilah terdapat masalah-masalah demi terciptanya kehidupan bersama tersebut, dan amsala-masalah itu di antaranya :
a.       Menemukan orang lain dengan menemukan diri sendiri
b.      Mengadopsi perspektif kelomppok etnis, agama dan social lainnya
c.       Berpartisipasi dalam proyek dengan orang-orang dari kelompok
d.      Mengembangkan kemampuan untuk menyelesaikan ketegangan dan konflik.


3.      Institusi Pendidikan Masyarakat
Institusi pendidikan masyarakat adalah suatu lembaga pendidikan, yang berguna sebagai fasilitator dari masyarakat suatu daerah atau suatu wilayah, yang tentunya bertujuan untuk memfasilitasi pembelajaran.
Menurut Komisi Delors Intitusi Pendidikan Masyarakat adalah memberikan pendidikan formal pada tempat sentral dalam proses pembelajaran sepanjang hidup. Tidak ada masalah yang perlu dibicarakan dari pembukaan institusi pendidikan. Dan di dalam institusi pendidikan masyarakat terdapat tiga tingkatan pendidikan, yaitu Pendidikan Dasar, Pendidikan Menegah dan Pendidikan Tinggi.
a.       Pendidikan dasar : Sebuah Paspor untuk Hidup
-          Menanggapi kebutuhan umum dari populasi keseluruhan, anak-anak dan orang dewasa
-          Menempa sikap terhadap pembelajaran yang akan berlangsung sepajang hidup
-          Menyediakan alat-alat untuk belajar (membaca, menulis, ekspresi lisan,  perhitungan, pemecahan masalah)
-          Mengembangkan bakat untuk hidup bersama dan dasar-dasar individu prestasi.
b.      Pendidikan Menengah : Sebuah Persimpangan dari Kehidupan
-          Memungkinkan bakat untuk diungkapkan dan berkembang
-          Mendukung pemuda dalam pilihan mereka orientasi professional
-          Memperkaya elemen inti umum ( bahasa, ilmu pengetahuan, pengetahuan umum) sambil memfokuskan lebih pada persiapan untuk hidup aktif
-          Memungkinkan orang muda untuk mengembangkan bakat yang diperlukan untuk mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan besar.
-          Menawarkan pelatihan professional untuk profesi yang ada dan masa depan
-          Mengorganisir jalur diversifikasi memungkinkan untuk masa depan kembali ke dalam system pendidikan
c.       Pendidikan Tinggi : Sebuah tempat untuk Warisan Umum Pengetahuan
-          Persiapan untuk penelitian dan pengajaran
-          Menawarkan pelatihan yang sangat khusus disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan social dan ekonomi
-          Tempat budaya dan pembelajaran terbuka untuk semua   
-          Memperkaya dialog antara masyarakat dan budaya melalui kerjasama internasional.

4.      Kontribusi Pendidikan Non-Formal
Walau pun dalam dunia pendidikan kontribusi pendidikan formal dianggap lebih besar dan lebih baik dari ada pendidikan non-formal, namun sesungguhnya pendidikan non-formal juga memiliki kontribusi yang besar. Pada praktik pendidikan non-formal menyangkut sekelompok organisasi dan departemen yang intervensi pada isu-isu seperti : lingkungan, kesehatan, pekerjaan, status perempuan, budaya, pariwisata, perencanaan kota, pertanian dll. Beberapa sentuhan kebijakan pemerintah pada aspek mereka yang bertanggung jawab atas kebijakan dan program yang dihasilkan dari laporan keprihatinan Delors. Komisi Delors menyoroti kebutuhan untuk tempat-tempat yang mendukung pembelajaran non-formal sepanjang hidup. Tempat-tempat yang diperlukan untuk memungkinkan berkembang dan keragaman bakat individu. Mereka berkontribusi terhdap penemuan solidaritas dan kewarganegaraan. Saling ketergantungan dari sector formal-nonformal harus diakui dan langsung hubungan didorong oleh komisi Delors untuk mendukung belajar seumur hidup.

5.      Globalization of Problem and Solution
Globalisasi, sebuah proses pembaharuan dan pembuka informasi dengan sejuta manfaat dan sejuta kekurangan yang mendampinginya. Globalisasi dapat menjadi sebuah masalah dan adapat juga menjadi sebuah pemecah masalah. Dan itu mungkin sudah menjadi sebuah hokum alam atas lahiranya sesuatu, yaitu apabila sesuatu yang baru itu lahir maka akan dapat dimanfaatkan untuk kebaikan dan juga dapat dimanfaatkan untuk keburukan.
Dalam globalization of problem and solution terdapat beberapa penjelasan-penjelasan terhadap poin konsep globalisasi, bentuk pembelajaran kemasyarakatan yang lebih baik, dan penjelasan Dellors.
a.      Pointers on the concept of globalization
Poin-poin yang ada dalam konsep globalisasi, di antaranya batas negara jauh lebih terbuka daripada mereka dulu. Tidak lagi seperti yang terjadi setelah Perang Dunia Kedua yang ada pembagian antara negara-negara di bagian Barat dan bagian Timur. Ini jauh lebih sederhana daripada sebelumnya untuk orang-orang, barang dan ide-ide untuk beredar di seluruh dunia. Hal ini akan mengubah cara kita hidup dan cara kita bekerja. Hal ini mungkin akan mengguncang nila-nilai pribadi dan pilihan kita, memengaruhi kebiasaan politik kita dan cara kita melakukan penelitian ilmiah. Semua ini dapat menciptakan masalah kompleks yang sulit untuk diselesaikan di tingkat local. Kegiatan kriminal, masalah lingkungan, pengangguran, ketidaksetaraan gender, hambatan komunikasi. Pertukaran dengan orang lain di negara dapat membantu kita menemukan solusi untuk masalah ini.
b.      What type of education for a better life in a global society?
Apakah tipe pembelajaran untuk hidup yang lebih baik di masyarakat secara umum? Apakah Anda ingin menemukan dunia? Jika demikian, bagaimana kita belajar untuk hidup bersama dalam masyarakat global? Apa pengetahuan dan keterampilan yang paling penting untuk partisipasi dalam gerakan ini pertukaran ekonomi, budaya dan ilmiah dalam skala global?
c.       How does the delors report respond?
-          Mempromosikan pengetahuan dan harga diri
Menemukan bakat sendiri dan memahami realitas pribadi seseorang sangat penting untuk menemukan dan memahami orang lain.
-          Belajar untuk membuat dan membuat link
Untuk membantu  memahami hubungan antara manusia dan lingkungan mereka, Delors Komisi merekomendasikan reorganisasi pengajaran, mendukung pendekatan yang menyebut pada beberapa disiplin sekaligus.
-          Mempromosikan pembelajaran dua bahasa
Komisi Delors nikmat program sekolah yang memungkinkan untuk pengajaran dua atau tiga bahasa.
-          Mendorong pertukaran internasional
Komisi mendorong guru untuk berpartisipasi dalam pertukaran internasional dan pengalaman kerja dalam budaya lain.



 Nama : Rapika Anna Sari Tarigan
 Nim    : 1304183
 Kurtekpend A