TEORI BELAJAR DISIPLIN MENTAL
‘Teori Disiplin Mental’ dari kalangan pendidik mungkin pernah mendengar
tentang teori ini sebelumnya, teori ini merupakan salah satu dari
sekian banyak teori belajar yang muncul sebelum abad 20, sebagian
referensi mengatakan teori ini ditemukan oleh Plato dan Ariestoteles
tetapi ada juga yang mengatakan teori ini sudah ada sejak zaman kuno.
Disiplin mental juga dikenal dengan ungkapan disiplin formal. Gagasan
utama dalam toeri disiplin mental adalah pada otak (mind), yang diangankan sebagai benda nonfisik, yang terbaring tidak aktif (dorman) lalu ia dilatih. (Shermis, S. Samuel, n.y. How to discipline your mind.)
Seperti halnya otot-otot fisik yang bisa kuat jika dilatih secara
bertahap dan terus menerus serta dengan porsi yang memadai, maka
otot-otot pikiran atau otak pun demikian halnya. Ia bisa kuat dalam arti
lebih tinggi kemampuannya jika dilatih secara bertahap dan memadai.
Disini Kecakapan pikiran atau otak seperti ingatan, kemauan, akal budi (reason),
dan ketekunan, dianggap sebagai "otot-ototnya" pikiran atau otak tadi.
Dalam toeri disiplin mental, belajar atau perubahan perilaku
ke arah yang berkualitas diartikan sebagai pemerkuatan (strengthening), atau pendisiplinan kecakapan berpikir (otak), yang pada akhirnya menghasilkan perilaku kecerdasan.
Teori yang tergolong dalam teori klasik ini memang pada awalnya tidak
berdasarkan pada eksperimen, namun hanya berdasar pada pemikiran saja.
Teori disiplin mental ternyata sampai saat ini masih diterapkan dalam
pembelajaran modern, walaupun merupakan teori pembelajaran yang sudah
lama ditemukan.
Penganut belajar disiplin mental
contohnya Jean Jacgues Rousseau yang menggangap anak memiliki
potensi-potensi yang masih terpendam, melalui belajar, anak harus diberi
kesempatan mengembangkan atau mengaktualkan potensi-potensi tersebut.
Sesungguhnya anak memiliki kekuatan sendiri untuk mencari, mencoba,
menemukan dan mengembangkan dirinya sendiri (Andi, 2009: 1).
Teori disiplin mental menekankan pada
latihan mental yang diberikan dalam bentuk studi. Disiplin mental juga
dikenal dengan ungkapan disiplin formal. Gagasan utama disiplin mental
adalah pada otak atau pikiran, yang dianggap sebagai benda nonfisik,
terbaring tidak aktif hingga ia dilatih. Kecakapan pikiran atau otak
seperti ingatan, kemauan, akal budi, dan ketekunan, merupakan
“otot-ototnya” pikiran atau otak tadi. Otak dipersepsikan seperti
otot-otot fisiologis yang bisa kuat jika dilatih secara bertahap dan
terus menerus serta dengan porsi yang memadai, maka otot-otot pikiran
atau otak pun demikian halnya. Otak manusia bisa kuat dalam arti lebih
tinggi kemampuannya jika dilatih secara bertahap dan memadai (Asri
Trianti, 2008: 1).
Apabila belajar ditinjau dari teori
disiplin mental maka belajar lebih ditekankan pada masalah penguatan,
atau pendisiplinan kecakapan berpikir otak, yang pada akhirnya
menghasilkan perilaku kecerdasan. Contohnya, dalam konteks komunikasi,
kecakapan berkomunikasi seseorang pun bisa dilatih sejak dini supaya
berhasil dengan baik. Tampaknya memang benar bahwa ahli-ahli komunikasi
praktis seperti ahli pidato, ahli kampanye, ahli seminar, dsb. Semuanya
merupakan hasil dari proses latihan. Latihan dalam hal keahlian ini
identik dengan pengalaman. Semakin lama pengalaman seseorang di
bidangnya maka semakin ahli orang yang bersangkutan.
Menurut teori disiplin mental, orang
dianggap sebagai paduan dari dua jenis zat dasar, atau dua jenis
realitas, yaitu pikiran rasional dan organisme biologis. Dengan begitu
maka konsep animal rasional digunakan untuk mengenali
manusia, sedangkan yang didisiplinkan atau dilatih melalui pendidikan
adalah pikiran (Asri Trianti, 2008: 2).
Menurut konsep ini pada dasarnya manusia
terbentuk dari dua zat yakni mental dan fisik secara berpadu. Bagaimana
pun juga, pikiran dan badan atau zat rohaniah dan zat badaniah tidak
mempunyai karakteristik umum (yang sama). Pemikiran akan konsep pikiran
atau rohani sampai sekarang masih berlangsung, baik yang datangnya dari
orang-orang primitif (yang mengatakan bahwa nyawa berpindah ketika
sedang bermimpi), maupun konsep orang-orang sekarang yang lebih
kompleks. Dalam hal ini orang melihat belajar sebagai proses
perkembangan akibat dari adanya pelatihan pikiran atau otak. Dengan
demikian maka belajar menjadi suatu proses yang terjadi di dalam di mana
berbagai kekuatan seperti imajinasi, memori, kemauan, dan pikiran,
diolah. Dan dari sana pendidikan pada umumnya dan belajar pada khususnya
menjadi suatu proses disiplin mentalDua Aliran Teori Disiplin Mental
Teori disiplin mental setidaknya mempunyai dua versi pokok, yakni humanisme klasik dan psikologi kecakapan (faculty psychology).
Masing-masing merupakan hasil dari perkembangan tradisi budaya yang
berbeda. Humanisme klasik berasal dari Yunani kuno. Humanisme Klasik
mempunyai dasar asumsi asumsi bahwa otak manusia merupakan satu pusat
atau sentral yang aktif dalam berhubungan dengan lingkungannya, dan
secara moral ia netral saat lahir. Humanisme adalah suatu pandangan dan
jalan hidup yang berpusat pada kepentingan dan nilai-nilai manusia.
Humanisme klasik itu hanya satu dari bentuk-bentuknya yang ada (Asri
Trianti, 2008: 5).
Bentuk yang berlainan dari humanisme klasik adalah humanisme psikedelik (psychedelic humanism) dan humanisme saintifik (scientific humanism).
Humanisme psikedelik menekankan kepada sifat-sifat keotonomian dan
sifat-sifat aktif manusia dengan ciri “manusia melakukan dirinya
sendiri”. Jenis humanisme ini meliputi psikologi belajar aktualisasi
diri, yang memandang manusia sebagai individu yang baik dan aktif di
dalam dirinya. Penekanan dalam belajarnya adalah pada pelatihan kekuatan
mental secara internal. Jika seseorang ingin memiliki kecakapan atau
keahlian di bidang tertentu, maka ia harus secara internal dan intensif,
melatih dirinya di bidang tersebut, hingga mampu menguasainya. Jika
Anda ingin menguasai bagaimana menyetir mobil, tentu harus berlatih
sendiri secara intensif oleh Anda sendiri sampai bisa.
Humanisme Saintifik lebih menekankan
kepada peningkatan kemampuan dengan jalan menerapkan proses pemecahan
masalah secara ilmiah. Jenis humanisme ini sesuai juga dengan psikologi
bidang Gestalt. Dengan berlatih menyelesaikan atau memecahkan
masalah-masalah sosial, ujian, atau bidang permasalahan apapun, maka
seseorang akan sampai kepada penguasaan atas permasalahannya tadi.
Permasalahan yang lain pun pada akhirnya akan dapat dengan mudah
diselesaikan.
Otak atau pikiran manusia dianggap
sedemikian rupa sehingga dengan pengolahan yang memadai, otak dapat
mengetahui dunia seperti pada kenyataannya. Manusia mempunyai kebebasan
memilih dalam keterbatasan bertindak dilihat dari segi apa yang
dipahaminya. Sebagai makhluk yang tidak hanya memiliki instink saja,
orang lebih suka berusaha memahami sesuatu yang kompleks dan
sulit-sulit, karena mempunyai dasar akal budi. Orang mampu berpikir rasa
dan berpikir rasional. orang bertindak karena mereka paham akan apa
yang dilakukannya. Dengan kata lain mereka menyadari akan perbuatannya,
atau setidaknya mereka tahu dan berkeinginan untuk melakukan apa yang
dikehendakinya.
Di dalam kerangka rujukan humanisme
klasik, pengetahuan dianggap sebagai ciri bangun prinsip kebenaran yang
pasti atau tetap, yang diteruskan sebagai warisan budaya atau sukunya.
Prinsip prinsip ini telah ditemukan oleh para pemikir besar sepanjang
sejarah manusia yang kemudian disusun ke dalam buku-buku besar. Menurut
teori ini, kurikulum sekolah itu berdasar pada falsafah dan buku-buku
klasik. Dan dalam hal ini, mempelajari buku-buku besar menjadi sesuatu
yang penting. Contohnya misalnya di lembaga-lembaga pendidikan
tradisional kita yang lebih menekankan kepada mempelajari buku-buku
besar karangan para ahli di jaman lampau. Di lembaga-lembaga pesantren
di Indonesia, sampai sekarang banyak yang mendasarkan diri pada buku
atau kitab-kitab “kuning” sebagai bahan kajiannya.
Christian Wolff (1679-1754), seorang ahli
filsafat Jerman, berpendapat bahwa pikiran atau otak manusia mempunyai
kecakapan yang jelas dan berbeda-beda. Pada saat tertentu pikiran berada
pada satu kegiatan khusus, dan pada saat lain terkadang sebagai bagian
dari satu aspek dari kegiatan tertentu lain. Menurut Wolff, kecakapan
dasar yang umum adalah: pengetahuan, perasaan, ingatan, dan akal budi
inti. Sedangkan kecakapan akal budi meliputi kemampuan menggambarkan
perbedaan-perbedaan dan menafsirkan atau menilai bentuk. Kecakapan
kemauan dipercaya sebagai hasil perkembangan ide atau gagasan pikiran
bahwa sifat manusia bisa dijelaskan melalui melihat dari segi prinsip
ketidakbaikan (Asri Trianti, 2008: 7).
Sebenarnya disiplin mental telah ada
sejak jaman kuno, dan pengaruhnya masih tampak dalam kegiatan komunikasi
praktis, seperti di lingkungan pendidikan atau sekolahan, di lembaga
lembaga non pendidikan, dan bahkan di organisasi-organisasi
kemasyarakatan, sampai sekarang. Manusia mempunyai kelebihan dengan
adanya kemampuan berpikir dan berakal budi, hal ini yang menyebabkan
perkembangan yang berbeda. Sejak dahulu, semua binatang hanya
mengandalkan instinknya saja dalam bergerak. Mereka tidak pernah ingin
merubah kondisi kehidupannya untuk ditingkatkan sesuai dengan tuntutan
jaman. Sedangkan pada manusia, karena mempunyai nafsu dan kemauan yang
dibarengi dengan kemampuan akalnya, maka dunia dikuasainya untuk
dibentuk sesuai dengan seleranya.
Semua perubahan-perubahan itu terjadi
karena manusia selalu mengalami belajar, mengalamami perubahan perilaku
ke arah yang lebih berkualitas, dalam rangka meningkatkan kemampuannya,
terutama kemampuan akal dan budinya. Kita bisa mengembangkan konsep ini
secara aplikatif. Disiplin mental yang sebenarnya disebut juga dengan
disiplin formal yang selalu tampak dalam hampir semua aspek pembelajaran
manusia. Artinya, ketika manusia melakukan belajar, ia selalu mengalami
pelatihan secara displin, baik internal maupun eksternal. Contoh dalam
tataran praktis keseharian. Olahragawan terkemuka biasanya hasil latihan
yang disiplin. Ilmuwan terkemuka juga merupakan hasil kerja keras
belajar secara disiplin. Tidak ada orang yang tiba-tiba menjadi ahli
dalam bidang tertentu.
C. Penerapan Teori Belajar Mental dalam Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
Teori belajar disiplin mental menjadi
dasar untuk disusunnya strategi dan model pembelajaran untuk diterapkan
bagi siswa. Model pembelajaran yang dimaksud adalah suatu perencanaan
atau suatu pola yang menggunakan pembelajara di kelas atau pembelajaran
dalam tutorial serta untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran
(Triyanto, 2007: 1).
Dalam kalangan anak-anak, baik di
lingkungan keluarga ataupun di sekolah, hampir semua aspek pembelajaran
bisa dilakukan dengan cara disiplin, seperti pembiasaan secara tetap
akan suatu pekerjaan, latihan tetap terhadap suatu keterampilan,
disiplin diri dalam bertindak, displin mengendalikan diri, bekerja keras
dengan disiplin tetap, serta adanya arahan-arahan motivasi dari pihak
lain. Semua itu jika dilakukan akan menghasilkan manusia yang memiliki
kemampuan unggul di bidang yang dikerjakannya atau dilatihnya secara
disiplin tadi. Memang, pada asalnya disiplin dilakukan oleh adanya
aturan-aturan eksternal, namun secara tidak langsung, jika hal itu
dilakukan secara terus menerus dalam waktu yang lama, akan menghasilkan
perilaku disiplin internal.
Suatu pekerjaan jika dikerjakan secara
terus menerus dengan frekuensi yang relatif tetap, akan menjadikannya
seseorang menjadi terbiasa dengan pekerjaannya itu. Disiplin juga tidak
hanya untuk hal-hal yang bersifat praktis, namun juga dapat bersifat
mental. Sebagai contohnya, dengan telah melakukan ‘hafalan’ secara
disiplin terhadap perkalian angka 1 x 1, sampai dengan perkalian 10 x
10, maka kita sekarang tidak perlu berpikir lagi jika ditanya, 6 x 7, 8 x
9, atau 7 x 7. Kita bisa langsung menjawab hasilnya dengan benar. Itu
semua akibat dari hasil belajar melalui pola disiplin mental ketika kita
di SD dulu. Disiplin mental dikenal juga dengan disiplin formal.
Teori disiplin mental relevan apabila
diterapkan dalam sistem pembelajaran, karena kriteria belajar bagi siswa
adalah adanya perubahan perilaku pada diri individu, perubahan perilaku
yang terjadi hasil dari pengalaman, dan perubahan tersebut relatif
menetap (Suciati, 2005: 13). Berdasarkan kriteria tersebut tentu saja
teori belajar disiplin mental dapat diterapkan sebagai media untuk
menambah pengetahuan untuk perubahan perilaku individu secara menetap
dan berdasarkan hasil pengalaman dalam proses belajar mengajar.
Dalam ranah pembelajaran Ilmu Pengetahuan
Sosial, teori disiplin mental menjadi dasar dalam pembelajaran, yaitu
dengan menggunakan strategi guru memberikan buku-buku yang relevan
kepada siswa untuk dipelajari secara terus-menerus. Pembelajaran dengan
teori ini, mengakselerasi siswa untuk selalu meningkatkan kemampuannya
dan ketrampilannya dengan senantiasa belajar setiap hari, mempelajari
materi-materi setiap hari, sehingga semua kompetensi yang distandarkan
dapat dikuasai.
Standar kompetesi bahan kajian Pengetahuan Sosial dan Ilmu-Ilmu Sosial dan Kewarganegaraan (Arnie Fajar, 2009: 105), adalah:
1. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang sistem sosial dan budaya dan menerapkannya untuk:
a. Mengembangkan sikap kritis dalam situasi sosial yang timbul sebagai akibat perbedaan yang ada di masyarakat;
b. Menentukan sikap terhadap proses perkembangan dan perubahan sosial budaya;
c. Menghargai keanekaragaman sosial budaya dalam masyarakat multikultural.
2. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang manusia, tempat dan lingkungan serta menerapkannya untuk:
a. Meganalisis proses kejadian,
interaksi dan saling ketergantungan antara gejala alam dan kehidupan di
muka bumi dalam dimensi ruang dan waktu;
b. Terampil dalam memperoleh, mengolah dan menyajikan informasi geografis.
3. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang perilaku ekonom da kesejahteraan serta menerapkanya untuk:
a. Berperilaku yang rasional dan manusiawi dalam memanfaatkan sumber daya ekonomi;
b. Menumbuhkan jiwa, sikap dan perilaku kewirausahaa;
c. Menganalisis sistem informasi keuangan lembaga-lembaga ekonomi;
d. Terampil dalam praktik usaha ekonomi sendiri.
4. Kemampuan memahami fakta, konsep, dan generalisasi tentang waktu, keberlanjuta dan perubahan serta menerapkannya untuk:
a. Meganalisis keterkaitan antara manusia, waktu, tempat, dan kejadian;
b. Merekonstruksi masa lalu, memaknai masa kini, dan memprediksi masa depan;
c. Menghargai berbagai perbedaan serta
keragaman sosial, kultural, agama, etnis dan politik dalam masyarakat
dari pengalaman belajar peristiwa sejarah.
5. Kemampuan memahami dan meninternalisasi sistem berbansa dan bernegara serta menerapkannya untuk:
a. Mewujudkan persatuan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945;
b. Membiasakan untuk mematuhi norma, menegakkan hukum, dan menjalankan peraturan;
c. Berpartisipasi dalam mewujudkan
masyarakat dan pemerintahan yang demokratis; menjunjung tinggi,
melaksanakan dan menghargai HAM.
Berdasarkan karakteristik pembelajaran
ilmu-ilmu sosial dan kewarganegaraan tersebut tentu saja teori disiplin
mental sangat dominan dipergunakan dalam pembelajaran terutama
permasalahan pengetahuan tentang masalah konsep-konsep. Pengertian,
definisi, kriteria dan materi-materi pembelajaran yang perlu dikuasai
tentu saja diperlukan penerapan teori disiplin mental dalam proses
pembelajarannya.
Penerapan secara nyata dalam proses
belajar mengajar yang berhubungan dengan disiplin mental dalam setiap
mata pelajaran (misalnya pembelajaran tingkat SMP) sebagai berikut:
1. Pembelajaran Ekonomi
Guru memberikan materi pembelajaran
tentang sistem perilaku ekonomi dan kesejahteraan dengan memberikan
pengertian tentang sistem berekonomi, ketergantungan, sesialisasi dan
pemberian kerja, perkoperasian, kewirausahaan, dan pengelolaan keuangan
perusahaan. Materi-materi tersebut dapat disampaikan siswa dengan
menerangkan atau mengunakan buku dan diakhir pembelajaran siswa
mengerjakan LKS sebagai tes hasil evaluasi.
2. Pembelajaran Sejarah
Guru dapat menggunakan gambar dan media
lain dengan memberikan materi tentang dasar-dasar ilmu sejarah, fakta,
peristiwa dan proses sejarah. Siswa diakhir pembelajaran diminta untuk
menerangkan kembali tentang pembelajan tersebut agar lebih memperdalam
materi pembelajaran bagi siswa lainnya.
3. Pembelajaran Geografi
Guru dapat menggunakan peta dan diskusi
tentang materi sistem informasi geografi, interaksi gejala fisik dan
sosial, struktur internal suatu temat, interaksi keruangan dan persepsi
lingkungan dan kewilayahan. Guru dapat memberikan tugas dengan
mempelajari materi lain untuk memerdalam materi.
4. Pembelajaran PKn
Guru dapat mengunakan strategi belajar
kelompok, untuk membahas tentang persatuan bangsa, nilai dan norma, hak
asasi mausia, kebutuhan hidup, kekuasaan dan politik, masyarakat
demokratis, Pancasila da konstitusi negara serta globalisasi. Guru
kemudian dapat bertanya kepada siswa satu persatu untuk menjawab
pertanyaa dari guru untuk mengukur kedalaman pemahama materi.
Teori disiplin mental juga dapat
dilaksanakan dengan menggunakan pembelajaran dengan strategi eksositori.
Model pengajaran ekspositori merupakan kegiatan yang terpusat pada
guru. Guru aktif membeerikan penjelasan atau informasi tererinci tentang
bahan pengajaran. Tujuan utama pengajaran ekspositori adalah
memindahkan pengetahuan, ketrampila dan ilai-nilai kepada siswa. Hal
yang esensial pada bahan pengajaran harus dijelaskan kepada siswa
(Dimyati dan Mudjiono, 2006: 172).
Guru juga dapat menggunakan strategi
evaluasi dengan sistem menanyakan terus menerus pembelajaran yang
dikuasai siswa secara lisan, sehingga guru dapat mengukur seberapa jauh
siswa menguasai pembelajaran yang diberikan. Aplikasi pembelajaran
dengan teori disiplin mental memang mengedepankan aspek penguasaan
materi dan ketrampilan berdasarkan pada pengasahan otak dan penambahan
materi pembelajaran kepada siswa.
Teori disiplin mental dalam pembelajaran
Ilmu Pengetahuan Sosial sesungguhnya banyak sekali sistem penerapannya.
Fokus dari disiplin mental adalah memberikan peningkatan pengetahuan
setiap waktu agar semakin lama siswa semakin memahami tentang materi
pembelajaran. Peningkatan pengetahuan yang dilaksanakan secara bertahap
penting dilaksaakan dalam teori disiplin mental. Tambahan pemahaman dan
materi tersebut merupakan indikasi keberhasilan dari teori disiplin
mental.
Teori disiplin mental apabila
diimplementasikan dampak positifnya menjadikan siswa semakin
hari-semakin meningkat kemampuannya dalam menguasai materi dan
ketrampilan. Siswa menjadi disiplin untuk mempelajari materi
pembelajaran setahap-demi setahap, dan semakin lama akan semakin banyak.
Dampak negatif dari penerapan disiplin mental apabila dilaksanakan
secara dominan dan tidak memperhatikan faktor-faktor psikologi akan
menjadi siswa menjadi tegang, dan proses belajar mengajar tidak
bervariatif. Segi kognitif siswa yang kadang-kadang tidak cocok dengan
metode pembelajaran berbasis disiplin mental menjadi terbebani dengan
pembelajaran tersebut.
kESIMPULAN :
Teori disiplin mental apabila diimplementasikan dampak positifnya menjadikan siswa semakin hari semakin meningkat kemampuannya
dalam menguasai materi dan ketrampilan. Siswa menjadi disiplin untuk
mempelajari materi pembelajaran setahap-demi setahap, dan semakin lama
akan semakin banyak. Dampak negatif dari penerapan disiplin mental
apabila dilaksanakan secara dominan dan tidak memperhatikan
faktor-faktor psikologi akan menjadi siswa menjadi tegang, dan proses
belajar mengajar tidak bervariatif. Segi kognitif siswa yang
kadang-kadang tidak cocok dengan metode pembelajaran berbasis disiplin
mental menjadi terbebani dengan pembelajaran tersebut.
Teori
belajar disiplin mental berkembang sebelum abad ke-20. Teori ini tanpa
dilandasi eksperimen, dan hanya berdasar pada filosofis atau spekulatif.
Walaupun berkembang sebelum abad ke-20, namun teori disiplin mental
sampai sekarang masih ada pengaruhnya, terutama dalam pelaksanaan
pengajaran di sekolah-sekolah. Teori ini menganggap bahwa secara
psikologi individu memiliki kekuatan, kemampuan atau potensi
potensi tertentu. Belajar adalah pengembangan dari kekuatan,kemampuan
dan potensi-potensi tersebut.
Teori
belajar disiplin mental, merupakan salah satu pandangan yang mula-mula
memberikan definisi tentang belajar yang disusun oleh filsuf Yunani
bernama Plato. Pandangan filsafatnya yaitu tentang idealisme yang
melukiskan pikiran dan jiwa yang bersifat dasar bagi segala sesuatu yang
ada. Idealisme hanyalah ide murni yang ada di dalam fikiran, karena
pengetahuan orang berasal dari idea yang ada sejak kelahirannya. Belajar
dilukiskan sebagai pengembangan olah fikiran yang bersifat keturunan.
Kepercayaa ini kemudian dikenal sebagai konsep “disiplin mental” (Bell
Gredler, 1994: 21).
Penganut
belajar disiplin mental contohnya Jean Jacgues Rousseau yang menggangap
anak memiliki potensi-potensi yang masih terpendam, melalui belajar,
anak harus diberi kesempatan
mengembangkan atau mengaktualkan potensi potensi tersebut. Sesungguhnya anak memiliki kekuatan
sendiri untuk mencari, mencoba, menemukan dan mengembangkan dirinya
sendiri Teori disiplin mental menekankan pada latihan mental yang
diberikan dalam bentuk studi. Disiplin mental juga dikenal dengan
ungkapan disiplin formal. Gagasan utama disiplin mental adalah pada otak
atau pikiran, yang dianggap sebagai benda nonfisik, terbaring tidak
aktif hingga ia dilatih. Kecakapan pikiran atau otak seperti ingatan,
kemauan, akal budi, dan ketekunan, merupakan “otot-ototnya” pikiran atau
otak tadi. Otak dipersepsikan seperti otot-otot fisiologis yang bisa
kuat jika dilatih secara bertahap dan terus menerus serta dengan porsi
yang memadai, maka otot-otot pikiran atau otak pun demikian halnya. Otak
manusia bisa kuat dalam arti lebih tinggi kemampuannya jika dilatih
secara bertahap dan memadai.
Apabila
belajar ditinjau dari teori disiplin mental maka belajar lebih
ditekankan pada masalah penguatan, atau pendisiplinan kecakapan berpikir
otak, yang pada akhirnya menghasilkan perilaku kecerdasan. Contohnya,
dalam konteks komunikasi, kecakapan berkomunikasi seseorang pun bisa
dilatih sejak dini supaya berhasil dengan baik. Tampaknya memang benar
bahwa ahli-ahli komunikasi praktis seperti ahli pidato, ahli kampanye,
ahli seminar, dsb. Semuanya merupakan hasil dari proses latihan. Latihan
dalam hal keahlian ini identik dengan pengalaman. Semakin lama
pengalaman seseorang di bidangnya maka semakin ahli orang yang
bersangkutan.
Menurut
teori disiplin mental, orang dianggap sebagai paduan dari dua jenis zat
dasar, atau dua jenis realitas, yaitu pikiran rasional dan organisme
biologis. Dengan begitu maka konsep animal rasional digunakan
untuk mengenali manusia, sedangkan yang didisiplinkan atau dilatih
melalui pendidikan adalah pikiran (Asri Trianti, 2008: 2).
Menurut
konsep ini pada dasarnya manusia terbentuk dari dua zat yakni mental
dan fisik secara berpadu. Bagaimana pun juga, pikiran dan badan atau zat
rohaniah dan zat badaniah tidak mempunyai karakteristik umum (yang
sama). Pemikiran akan konsep pikiran atau rohani sampai sekarang masih
berlangsung, baik yang datangnya dari orang-orang primitif (yang
mengatakan bahwa nyawa berpindah ketika sedang bermimpi), maupun konsep
orang-orang sekarang yang lebih kompleks. Dalam hal ini orang melihat
belajar sebagai proses perkembangan akibat dari adanya pelatihan pikiran
atau otak. Dengan demikian maka belajar menjadi suatu proses yang
terjadi di dalam di mana berbagai kekuatan seperti imajinasi, memori,
kemauan, dan pikiran, diolah. Dan dari sana pendidikan pada umumnya dan
belajar pada khususnya menjadi suatu proses disiplin mental.
Daftar Pustaka :
Andi. (2009). Teori Belajar. Diambil pada tanggal 12 Oktober 2009, dari http://www.http://andi1988.wordpress.com/2009/01/28/teori-teori-belajar-2.
Arnie Fajar. (2009). Portofolio dalam pembelajaran IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Asri Buduningsih. (2006). Belajar dan pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Asri Trianti. (2008). Teori disiplin mental. Diambil pada tanggal 12 Oktober 2009, dari: http://www.candilaras.co.cc/2008/05/teori-disiplin-mental.html
Bell Gredler, Margaret E. (1994). Belajar dan membelajarkan. (Terjemahan Munandir). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Dimyati dan Mudjiono. (2006). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Made Pidarta. (2000). Landasan pendidikan stimulus ilmu pendidikan bercorak Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Slameto. (2003). Belajar dan fakto-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Suciati. (2005). Belajar dan Pembelajaran I. Jakarta: Universitas Terbuka.
Trianto. (2007). Model-model pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.