TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Kontruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks
filsafat pendidikan, Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup
yang berbudayamodern.
Konstruktivisme merupakan
landasan berfikir (filosofi) pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan
dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui
konteks yang terbatas dan tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah
seperangkat fakta-fakta, konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan
diingat. Manusia harus mengkontruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui
pengalaman nyata.
TUJUAN
DARI KONSEP INI :
Adanya
motivasi untuk siswa bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa itu sendiri.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengejukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
Membantu siswa untuk mengembangkan pengertian dan pemahaman konsep secara lengkap.
Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu.
CIRI-CIRI
PEMBELAJARAN SECARA KONSTUKTIVISME
Adapun ciri – ciri pembelajaran secara
kontruktivisme adalah
1. Memberi peluang kepada
murid membina pengetahuan baru melalui penglibatan dalam dunia sebenar
2. Menggalakkan
soalan/idea yang dimul akan oleh murid dan menggunakannya sebagai panduan
merancang pengajaran.
3. Menyokong
pembelajaran secara koperatif Mengambilkira sikap dan pembawaan murid
4. Mengambilkira dapatan
kajian bagaimana murid belajar sesuatu ide
5. Menggalakkan &
menerima daya usaha & autonomi murid
6. Menggalakkan murid
bertanya dan berdialog dengan murid & guru
7. Menganggap
pembelajaran sebagai suatu proses yang sama penting dengan hasil pembelajaran.
8. Menggalakkan proses
inkuiri murid mel alui kajian dan eksperimen.
PRINSIP-PRINSIP
KONSTRUKTIVISME
Secara
garis besar, prinsip-prinsip Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar
mengajar adalah:
1. Pengetahuan dibangun
oleh siswa sendiri
2. Pengetahuan tidak
dapat dipindahkan dari guru kemurid, kecuali hanya dengan keaktifan murid
sendiri untuk menalar
3. Murid aktif
megkontruksi secara terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep
ilmiah
4. Guru sekedar membantu
menyediakan saran dan situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5. Menghadapi masalah
yang relevan dengan siswa
6. Struktur pembalajaran
seputar konsep utama pentingnya sebuah pertanyaan
7. Mmencari dan menilai
pendapat siswa
8. Menyesuaikan
kurikulum untuk menanggapi anggapan siswa.
Salah satu teori atau pandangan yang
sangat terkenal berkaitan dengan teori belajar konstruktivisme adalah teori
perkembangan mental Piaget. Teori ini biasa juga disebut teori perkembangan
intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori belajar tersebut berkenaan
dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan
intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan intelektual
yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkonstruksi ilmu
pengetahuan. Misalnya, pada tahap sensori motor anak berpikir melalui gerakan
atau perbuatan (Ruseffendi, 1988: 132).
Selanjutnya, Piaget yang dikenal sebagai konstruktivis pertama (Dahar, 1989:
159) menegaskan bahwa pengetahuan tersebut dibangun dalam pikiran anak melalui
asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah penyerapan informasi baru dalam
pikiran. Sedangkan, akomodasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena
adanya informasi baru, sehingga informasi tersebut mempunyai tempat (Ruseffendi
1988: 133). Pengertian tentang akomodasi yang lain adalah proses mental yang
meliputi pembentukan skema baru yang cocok dengan ransangan baru atau memodifikasi
skema yang sudah ada sehingga cocok dengan rangsangan itu (Suparno, 1996: 7).
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa
dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial.
Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktivisme sosial (Taylor, 1993;
Wilson, Teslow dan Taylor,1993; Atwel, Bleicher & Cooper, 1998).
Ada dua konsep penting dalam teori
Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
1.Zone of Proximal
Development
(ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang
didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat
perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah
di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat
yang lebih mampu.
2.Scaffolding merupakan pemberian
sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian
mengurangi bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung
jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Scaffolding
merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar dan memecahkan
masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan,
menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan
tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Pendekatan yang mengacu pada
konstruktivisme sosial (filsafat konstruktivis sosial) disebut pendekatan
konstruktivis sosial. Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran
matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil
dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah (problem posing) oleh
manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan
Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio (socio-constructivism),
siswa berinteraksi dengan guru, dengan siswa lainnya dan berdasarkan pada
pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon
masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstruktivis sosio ini
sangat sesuai dengan karakteristik RME.
HAKIKAT ANAK MENURUT
TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME
Piaget
mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang,
melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada
seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan
tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999:
61).
Dari
pandangan Piaget tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa
pada tahap tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak.
Berkaitan
dengan anak dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme, Driver
dan Bell (dalam Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik
sebagai berikut: (1) siswa tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan
memiliki tujuan, (2) belajar mempertimbangkan seoptimal mungkin proses
keterlibatan siswa, (3) pengetahuan bukan sesuatu yang datang dari luar
melainkan dikonstruksi secara personal, (4) pembelajaran bukanlah transmisi
pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas, (5) kurikulum
bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan sumber.
Pandangan
tentang anak dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang
dikembangkan dari teori belajar kognitif Piaget menyatakan bahwa ilmu
pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan
akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses
aktif untuk mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring
laba-laba dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang
berlangsung secara interaktif antara faktor intern pada diri pebelajar dengan
faktor ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut
adalah tiga dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan
intelektual atau tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap
perkembagan mental. Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan; (1) perkembangan
intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan
urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan
tersebut dan dengan urutan yang sama, (2) tahap-tahap tersebut didefinisikan
sebagai suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan,
pengelompokan, pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan
adanya tingkah laku intelektual dan (3) gerak melalui tahap-tahap tersebut
dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration), proses pengembangan yang
menguraikan tentang interaksi antara pengalaman (asimilasi) dan struktur
kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda
dengan kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang
dikembangkan oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam
interaksi dengan lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam
belajar lebih mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi,
1999: 62). Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti
konstruktivis Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang
penekanannya pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun
implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi,
1999: 63) adalah sebagai berikut: (a) tujuan pendidikan menurut teori belajar
konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan
berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (b) kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (c) peserta didik
diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
KELEBIHAN DAN
KELEMAHAN TEORI KONSTRUTIVISME
1.
Kelebihan
1. Berfikir alam proses membina
pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, menjana idea dan
membuat keputusan.
2. Faham :Oleh kerana
murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih
faham dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi.
3. Ingat :Oleh kerana
murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua
konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka.
Justeru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi
baru.
4. Kemahiran sosial
:Kemahiran sosial diperolehi apabila berinteraksi dengan rakan dan guru dalam
membina pengetahuan baru.
5. Seronok :Oleh kerana
mereka terlibat secara terus, mereka faham, ingat, yakin dan berinteraksi
dengan sihat, maka mereka akan berasa seronok belajar dalam membina pengetahuan
baru.
2. Kelemahan
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan
ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru sebagai
pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.
Nama : Rapika Anna Sari Tarigan
Jurusan : Kurtekpend
Nim : 1304183